Senin, 26 Oktober 2009

Yang Antrosomatik

evolusi Sudah lama kepikiran tentang apa yang saya sebut 'jejak-jejak evolusi yang memberi petunjuk pada antrosomatik purba'. Kata 'antrosomatik' itu adalah sebuah bentukan yang analog dengan kata 'psikosomatik'. Kalau psikosomatik berarti menunjukkan ada kaitan antara yang psikologis dengan kondisi fisik tubuh, maka pada 'antrosomatik' adalah adanya kaitan antara perkembangan manusia sebagai makhluk hidup dengan apa yang ditunjukkan oleh kecenderungan pada tubuhnya, Entah itu istilah yang tepat atau tidak untuk menggambarkan apa yang saya maksud, tapi saya ingin menunjuk hal-hal seperti: laki-laki akan lebih rentan terkena kanker prostat kalau tidak menikah (alias berhubungan seksual); bahwa perempuan yang terkena kanker rahim biasanya adalah mereka yang tidak menikah (alias tidak pernah melahirkan); juga perempuan yang terkena kanker payudara adalah wanita yang tidak pernah menyusui. Barangkali akan ada lebih banyak lagi, dan akan sangat menarik buat saya untuk menemukan yang lainnya, tapi poinnya di sini adalah, ternyata anggota tubuh manusia itu ada peruntukannya yang spesifik. Ketika seleksi dalam evolusi menghasilkan kenyataan bahwa peruntukan anggota tubuh itu mengalami transendensi, muncullah hal-hal yang menyimpang seperti kanker itu.
Yang lainnya yang masih saya ingat adalah, ternyata passion manusia untuk beragama itu ada justifikasinya pada otak. Saya lupa, tapi ada bagian otak manusia yang membuat manusia jadi cenderung percaya dan membutuhkan Tuhan. Apakah kalau begitu harus dikatakan bahwa seorang atheis atau mereka yang tidak religius itu tidak sekedar pembangkang tapi sebenarnya mereka itu mengalami anomali pada otaknya ?
73667807 Lalu yang pagi ini saya baca di detikhealth; katanya menurut penelitian laki-laki memandangi wanita 43 menit dalam sehari. Studi sebelumnya mengatakan bahwa laki-laki akan lebih sehat bila memandangi wanita, terutama wanita cantik, apalagi kalau bisa berinteraksi dengannya. Bagi laki-laki memandangi wanita cantik adalah sesuatu yang naluriah, tapi sungguh mengejutkan bagi saya bahwa ada penelitia yang bisa menghasilkan kesimpulan itu. Artinya, memandangi wanita cantik adalah sebuah perilaku yang memiliki dasar somatik. Etiket atau pandangan kesopanan umum telah mencegah itu untuk sekurangnya terjadi secara berlebihan, bahkan mungkin malah ada pencelaan pada perilaku itu sebagai mata keranjang, mata jelalatan, dan sebagainya. Ternyata untuk mengatakan itu adalah perilaku tidak sopan adalah sebuah kenaifan. Melakukan itu secara eksesif memang tidak sopan, tapi ternyata ada sesuatu dalam diri kita yang naluriah yang membawa kita untuk melakukan hal itu.
Yang terakhir itu sebaiknya tidak jadi pembenaran, tapi di atas segalanya, membuat jadi penasaran untuk mengetahui hal-hal serupa itu yang lainnya, agar kita bisa lebih fenomenologis terhadap diri sendiri dan tidak terpenjara pada norma, budaya, peradaban, atau batasan-batasan lain yang diciptakan manusia sendiri, yang ternyata malah menambah faktor yang lebih mendorong punahnya manusia.

Kamis, 22 Oktober 2009

Tentang Menulis Spontan

Saya ternyata cukup gagal untuk membuat tulisan yang spontan. Entri tulisan sebelum yang ini membuat saya cukup terkejut. Ternyata saya tetap saja tanpa sadar menulis dengan rapih dan terstrukur, bahkan saya menuliskannya dengan cukup panjang. Padahal waktu itu saya menuliskannya sambil lalu. Tiap sebentar datang ke komputer untuk menulis beberapa kalimat, sementara sambil menerima tamu, mengerjakan ini itu, lalu balik nulis lagi. Mungkin memang saya sudah menulis dengan spontan, tapi rapih dan panjangnya itu sama sekali tidak mengesankan spontan!
Ya selalu ada yang pertama kali untuk segala sesuatunya. Blog ini saya niatkan sebagai tempat menuliskan pikiran dan gagasan saya yang tidak terlalu elaborate, tapi singkat, padat, mungkin hanya terdiri dari beberapa alinea saja. Yang jelas tidak dalam bentuk essay seperti yang sudah saya lakukan di tomita.web.id.
Saya akan menulis spontan dengan lebih baik lagi.

Senin, 19 Oktober 2009

Mencari Lirik Musik Indonesia yang Bermutu

Bicara soal seni adalah hal yang tidak mudah. Selalu saja orang akan memberikan argumen yang mengatasnamakan kerelatifan, dan mereka ada benarnya. Ada orang yang mengatakan lukisan kubisme-nya Pablo Picasso sebagai bagus dan indah, tapi bisa juga ada yang mengatakan itu hanya hasil kerjaan anak kecil yang diwarnai dengan disiplin. Seni adalah sesuatu yang berada di wilayah antara hitam dan putih itu. Ada sangat banyak warna, ada sangat banyak kemungkinan. Nah, musik adalah seni. Ketika musik diwujudkan menggunakan kata-kata, maka fokus apresiasi pertama adalah pada kata-kata itu. Dengan begitu maka musik yang berkata-kata atau yang berlirik, adalah sebuah komunikasi. Ada yang mau disampaikan oleh si pembawanya, dan yang disampaikan itu adalah kata-kata pada liriknya.
Buat saya, lirik musik Indonesia bisa langsung menunjukkan siapa si penciptanya / pelantunnya / grup band-nya. Satu hal, 90% lebih lirik musik Indonesia adalah tentang cinta, dan plot pada liriknya sudah benar-benar membosankan. Mulai dari soal pdkt, penolakan, tidak bisa hidup tanpa dia, pengkhianatan, selingkuh, pemujaan perempuan, dan segalanya yang sudah bisa dibayangkan. Konon katanya para produser masih menganggap bahwa fokus pada soal cinta ini adalah yang akan membuat produknya gampang laku. Ini lah sulitnya. Ketika sesuatu sudah masuk industri, maka apa yang akan diproduksi harus melihat apa yang real dibutuhkan pasar. Sayangnya persepsi tentang apa yang real itu pasti subyektif sekali, oportunistik, dan selalu mencoba masuk ke dalam tren yang ada, bukan menciptakan tren karena itu terlalu berrisiko tidak akan ada yang membeli. Dari sudut pandang produser itu bisa dimengerti, tapi dari sudut pandang Seni secara umum, sudut pandang itu kalau tidak hanya memberikan kontribusi yang sedikit saja pada pemenuhan kaidah-kaidah seni, maka mungkin tidak ada sama sekali kontribusinya. Karena musik yang berlirik terlalu sering tidak menggugah apapun, tidak ada yang dibangkitkan pada kesadaran akan sesuatu yang baru. Sebuah lagu tidak jarang terdengar seperti hanya musik yang diberi kata-kata saja.
Apakah kita mesti menuding industri karena hal ini ? Tentu saja tidak. Mekanisme industri musik adalah sebuah kenyataan yang tidak bisa dibantah, dan mereka memiliki logikanya sendiri. Saya kira tantangannya lebih ada pada seniman musiknya sendiri. Persisnya, kualitas lirik itu ada pada intelektualitas si musisi / pencipta lagunya sendiri. Dalam hal ini saya ingin mengatakan bahwa para musisi itu sebenarnya bukannya tidak berkembang / mengembangkan diri. Mereka pasti berlatih dari hari ke hari, tapi yang mungkin tidak mereka waspadai adalah bahwa perkembangan keterampilan / skill bermusik ternyata tidak bisa paralel dengan perkembangan intelektualitas. Saya memang sengaja menggunakan kata 'intelektualitas', karena hanya inilah kemampuan manusia yang bisa membawa ke apresiasi dan penciptaan segala yang indah. Impuls musikal itu pasti akan ada pada seorang musisi, inspirasi itu juga pasti bisa datang karena musisi adalah seorang seniman; masalahnya adalah bagaimana merangkum keduanya dan meramunya ke dalam sebuah sajian kata-kata yang menggugah, yang tidak sekedar lewat telinga kiri dan keluar telinga kanan. Buat saya, untuk merangkum dan meramu itu dibutuhkan intelektualitas.

Sebuah band bisa saja berlatih tiap hari; sehingga kemampuan memainkan alat musiknya menjadi luar biasa bagus; sehingga ketika tampil bisa faultless. Tapi itu semua menyangkut fisik, menyangkut koordinasi otot, syaraf motorik, memori, perasaan, dan intuisi yang berasal dari kepekaan pada instrumen yang semakin dikenali setiap hari. Semua itu mungkin sudah ada campur tangan unsur otak, unsur intelektualitas, ... tapi barangkali porsinya tidak terlalu besar. Kemampuan bermusik adalah satu hal, tapi kemampuan menciptakan lirik adalah hal lain. Lirik bermutu hanya bisa diciptakan dengan koordinasi otak, koordinasi intelektual. Tapi nampaknya terlalu banyak musisi menomorduakan ini. Mungkin mereka sudah tahu, tapi menganggap bahwa ini bukanlah hal yang terlalu harus dirisaukan, atau mungkin berpikir bahwa jalan keluarnya sungguh tidak praktis.
Dalam proses penciptaan lagu, kita bisa maklum bahwa ada banyak variasi yang bisa muncul; apakah musiknya dulu baru liriknya, atau liriknya dulu baru musiknya, atau bisa saja keduanya bersamaan. Saya kira, karena yang lebih berkembang pada kebanyakan musisi adalah skill bermusiknya, akan sangat masuk akal untuk memperkirakan bahwa sebagian besar dari mereka akan mulai dari musiknya. Maka musiknya harus jadi dulu, baru liriknya nanti ditambahkan. Musiknya barangkali akan berubah sedikit nanti, tapi yang jadi orientasi pertama adalah musiknya dulu itu, sebagai titik berangkat, sebagai konsep dari pengembangan sebuah lagu. Kalau liriknya yang didahulukan, maka akan ada kans besar liriknya itu bisa membawa aspirasi artistik si penciptanya pada liriknya itu, tapi kalau musiknya yang didahulukan, kita bisa membayangkan bahwa tentu liriknya itu akan dikorbankan demi musik yang sudah ada, demi melodi yang sudah tercipta, misalnya. Oke, barangkali ini hanya salah satu skenario kemungkinan. Tidak selalu begini jalan ceritanya, tapi tetap saja, ada kecenderungan besar lirik adalah properti nomer 2 setelah musiknya.
Apa yang terjadi kalau ada pemutlakan orientasi pada musiknya sebagai jalan bagi terciptanya lirik? Seorang musisi yang cerdas akan segera punya beberapa alternatif. Bila sampai pada suatu titik di mana kompromi pada lirik sulit, maka bisa jadi musik atau melodinya akan dirombak. Tapi barangkali ada yang berpikir bahwa lirik itu lebih fleksibel perubahannya, sedangkan kalau yang diubah musiknya maka bisa jadi akan mengubah total seluruh komposisi. Pada titik ini, seorang musisi yang oportunis akan dengan mudah melakukan kompromi. The end justifies the means. Apapun dilakukan, yang penting kata-kata itu bisa mengiringi musik yang sudah ada. Kalau sudah begini, maka tidak heran improvisasi penciptaan lirik menjadi sebuah potret intelektualitas penciptanya.
Salah satu contohnya adalah dari sebuah grup yang sekarang ini sedang naik daun. Mereka menulis, 'I am sorry, ku tak akan love you lagi'. Lihat, ... cara apapun dilakukan. Saya tidak akan menerapkan kategori salah benar, jelek bagus, indah tidak-indah, tapi bagi saya itu sebuah pendekatan yang tidak terhormat, sekurangnya dari sudut bahasa Indonesia, dan benar-benar menunjukkan seberapa jauh tingkat intelektualitas si penciptanya.
Ok. Soal topik, bolehlah tentang cinta. Bolehlah sampai akhir jaman nanti para arkeolog akan menemukan bahwa sejarah lagu Indonesia populer ditandai oleh 99 persen lagu tentang cinta, tapi bukankah masih banyak variasi sudut pandang dan alternatif plot yang bisa diciptakan dari topik itu? Apakah stagnannya itu karena pengalaman pribadi si musisinya sebegitu sempit dan konvensional sehingga sulit sekali bisa muncul yang baru ? Kalau sudah begini apakah kita bisa langsung mengatakan seorang musisi / pencipta lagu itu adalah seorang seniman? Bagi saya, seorang seniman memiliki asumsi yang lebih dari sekedar kemampuan memproduksi sesuatu yang masuk dalam kancah seni. Kalau tekanannya pada kemampuan memproduksi (entah itu musik, lirik, atau apapun juga) maka itu adalah sekedar pengrajin, atau malah seorang tukang belaka.
Saya kira ada beberapa alternatif untuk jalan keluarnya. Pertama, seorang musisi harus banyak membaca dan berdiskusi. Tidak bisa dia hanya naif saja mengandalkan apa yang sudah ada di kepala. Kedua, perlu dipertimbangkan dengan serius bahwa ada seorang anggota band yang tidak perlu tampil di panggung, yaitu seseorang yang memang khusus menciptakan lirik. Ketiga, outsourcing. Saya kira sudah tiba saatnya ini dilakukan. Biarlah lirik dibuat orang lain, sedangkan musiknya dibuat sendiri. Atau dalam proses kreasinya ada proses kerja sama. Ini penting sekali karena hingga saat ini nampaknya dunia musik dan dunia kepenyairan belum terjembatani dengan baik. Masih sangat sedikit ada kerjasama antara seorang musisi  atau grup band dengan seorang penyair.
Beberapa kesempatan terakhir saya mendengarkan band amatir yang tampil live, selalu saja musiknya hingar bingar dan si penyanyi membawakan lirik tidak jelas dengan teriakan ala Linkin Park itu. Saya kira sekarang ada sebuah peluang konseptual baru bagi sebuah band: musiknya minimalis saja, tapi yang dikedepankan adalah liriknya. Kalau perlu ada pembalikan konsep yang ekstrem: bukan musik yang diberi kata-kata, tapi kata-kata yang dimusiki; variasi dan improvisasi musik harus menyerah pada lirik. Terlalu banyak band yang tampil live, karena sound system-nya buruk, maka lirik menjadi tenggelam pada segala ke hingarbingaran yang ada. Ini sebuah tantangan yang bisa menjadi konsep pembentukan sebuah band. Tapi saya bahkan sangsi ada orang yang sekurangnya membayangkan itu sebagai sebuah kemungkinan.
Apa yang harus kita katakan pada sebuah band yang pada fotonya tampil gagah, garang, macho, ... tapi lirik musiknya sekedar lagu cinta dengan sudut pandang yang itu-itu saja; yang sudah kita tahu tanpa harus mendengarkannya?

Minggu, 18 Oktober 2009

So Much as The Bitter Truth

Saya selalu bilang bahwa kalau ada masalah yang menimpa dua orang, maka sebenarnya akan sulit untuk mengatakan dengan jelas bahwa penyebabnya adalah salah satu dari kedua orang itu. Ini karena satu pihak pasti telah memberikan kondisi bagi pihak satu lagi untuk menciptakan masalah itu. Artinya, saya mau mengatakan bahwa dalam relasi dyadik sebenarnya dua orang itu selalu saling memberikan kontribusi bagi kebersamaannya.
Tapi akhirnya saya melihat sebuah situasi di mana pemahaman saya mengenai hal itu harus saya kunyah ulang. Ternyata tidak terlalu mudah untuk tetap berpikir dalam alur logika itu manakala kita sendiri yang mengalaminya. Yang mau saya katakan adalah saya hampir merevisi ulang pengetahuan yang hampir jadi keyakinan itu, menomorduakannya setelah saya membuat sebuah formulasi baru yang jadi peringkat pertama, atau membuat rasionalisasi baru untuk melihatnya dengan cara pandang yang lain. Pada kenyataannya, terasakan betul oleh saya bahwa perlakuan satu pihak bisa menjadikan pihak lain menjadi seperti seorang martir yang terpaksa.
Meskipun begitu, apapun yang saya katakan, tetap saja logika itu membayangi. Bukankah kebebasan itu pada saatnya yang kritis telah memberikan pilihan untuk menerima atau menolak pengkondisian? Kedengarannya sangat masuk akal, tapi kita semua tahu bahwa pikiran dan perilaku kita tidak hanya digerakkan oleh sebuah notion yang rasional. Kita bisa bergerak memilih ini atau itu, cenderung melakukan ini atau itu, meskipun semuanya sama sekali irasional. Karena manusia adalah hasil adonan yang rumit dari rasionalitas dan irasionalitas. Lalu karena ini, apakah pemahaman saya tentang logika subjek - objek tadi itu jadi harus berubah?
Satu hal kecil saja: ketika kita menerapkan logika ini pada hubungan antarmanusia, kita sendiri sebenarnya sudah terlibat pada upaya mengobyekkan apa yang seharusnya tidak boleh jadi objek. Seharusnya kita mencanangkan bahwa keduanya itu kita pikirkan dalam relasi subjek - subjek. Sejak kapan harus kita melihat manusia sebagai objek? Tapi ini tidak bisa begitu saja. Hidup lebih rumit dari apapun yang bisa dikatakan tentangnya. Apa yang harus dikatakan tentang kebersamaan yang dipersatukan dengan dua kebebasan?
Saya tidak mencoba untuk mendiktekan segala yang rasional pada hidup ini atau untuk sesuatu yang urgen harus membuat konsep dulu baru bertindak. Tapi pergaulan saya dengan fenomena dan fenomena dengan saya sering sampai pada suatu titik, di mana bagaimana saya memberikan respon bergantung pada apa yang saya yakini dan putuskan dalam hati. Dan pada titik itu, aroma pahit kebenaran lama-lama bisa menjadi manis juga, meski jalan yang ditempuh selalu saja benar-benar makan hati.

Kamis, 15 Oktober 2009

Tentang Miyabi: Teori Konspirasi Memberangus Pornografi ?

Saya tidak habis pikir dengan orang yang berencana mendatangkan Miyabi ke Indonesia. Apakah ia bodoh, sekedar naif, atau jangan-jangan ia adalah sebuah boneka yang dimainkan seorang dalang ? Maksud saya, kenapa sampai ada orang yang tidak bisa memperhitungkan bahwa reaksi massa di Indonesia akan seperti sekarang ini ?
Ini jadi mengingatkan saya pada kejadian diterbitkannya majalah Playboy di Indonesia dulu. Entah sekarang apakah majalah ini jadi terbit. Yang jelas, inisiator terbitnya majalah ini saya kira punya ketidakpekaan yang sama dengan orang yang berencana mendatangkan Miyabi itu. Mungkin ada yang sinis tentang ini, tapi Indonesia itu kan didominasi oleh semangat religius. Apapun indikasi yang muncul di negara ini yang nampaknya akan memberikan negasi tentang itu, tapi semangat religius itu tidak akan pernah bisa mati. Maka dari itu akan sangat mudah diramalkan sebenarnya, bahwa inisiatif apapun yang kontra-religiositas dalam skala nasional pasti akan berakhir dengan reaksi massa yang menentang.
Sekarang bagaimana kalau kita bayangkan bahwa orang-orang di balik kedatangan Miyabi itu sebenarnya tidak bodoh? Atau sekurangnya saya harus bilang, mereka itu adalah pion dari sebuah rencana terselubung ? Sebuah teori konspirasi ? Saya masih ingat bahwa tidak lama setelah penentangan majalah Playboy dulu, ada reaksi beruntun yang cukup keras diarahkan pada terbitan-terbitan yang berbau pornografi; seperti tabloid panas atau majalah dengan sampul gambar seronok. Apakah kali ini, pada kasus Miyabi, akan ada reaksi domino ke bidang-bidang lain yang menyangkut pornografi ?
Apakah sebenarnya ada upaya untuk memberangus pornografi dengan pornografi ?

Torehan Pertama

Tempat ini barangkali satu dari berbagai tempat di mana saya mendokumentasikan pemikiran-pemikiran saya. Tapi tidak seperti sebelumnya, di sini saya ingin melakukannya dengan lebih longgar, informal, dan mungkin malah tidak begitu terstruktur. Saya ingin menulis tanpa beban untuk menjadi rapih atau kelihatan bagus di mata orang lain. Apa yang muncul dalam pikiran saya dan saya pikir pantas untuk dibagikan dengan orang lain, akan saya tuliskan di sini.

Untuk itulah maka saya berusaha untuk membuat nama blog ini sesingkat mungkin; sesuatu yang ternyata sulit diusahakan. Kenapa harus singkat ? Karena saya ingin melakukannya juga melalui telpon selular. Dengan nama yang singkat, maka saya tidak harus repot menuliskannya pada hp yang jelas tidak senyaman dan secepat pada keyboard normal. Nama singkat itu sulit diusahakan, karena sudah terlalu banyak orang di Internet ini yang menggunakannya, meskipun kebanyakan dari mereka saya lihat tidak benar-benar menggunakan blognya. Mereka hanya ingin mendapatkan nama singkat, tapi blognya hanya berisi sedikit atau malah tidak ada tulisan sama sekali.
Akhirnya saya berhasil mendapatkan 9tom.blogspot setelah lebih dari satu jam berpikir dan mencoba-coba. Mudah-mudahan tempat ini akan sering saya update.